Minggu, 26 November 2023 - 11:05:38 WIB

Tangani Sengketa Lahan, Pengacara Temukan DPT Ghaib

Penulis : Redaksi
Kategori: POLITIK DAN HUKUM - Dibaca: 403 kali


Saat menangani sengketa lahan sekelompok advokat malah menemukan Daftar Pemilih Tetap (DPT) ghaib alias fiktif. Tentu saja temuan ini langsung ditindaklanjuti dengan membuat laporan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Pelaporan dilakukan pada Kamis sore 23 November 2023 oleh tujuh orang, dua diantaranya merupakan para saksi dan lima lainnya merupakan kuasa hukum (advokat).

Juru bicara para kuasa hukum, Iskandar Halim, SH, MH usai menyerahkan berkas laporan di Sentra Gakkumdu Bawaslu DKI Jakarta menjelaskan, pihaknya tengah memperjuangkan upaya kepemilikan lahan kliennya bernama Meifilia (M) yang kini tinggal di Kawasan Pasar Baru, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Dimana dalam sengketa tersebut M harus berhadapan dengan kakak beradik yang masing-masing bernama Tan Eng Ho (TEH) dan Tan Eng Siong (TES) yang mengaku sebagai ahli waris. Namun saat ditelusuri keabsahan identitas kedua nama kakak beradik keturunan Tionghoa tersebut mulai dari tingkat RT, RW, Kelurahan, hingga Dukcapil dan Keimigrasian Kementerian Hukum dan HAM ternyata tidak ditemukan keterangan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau kosong. Padahal Kartu Tanda Penduduk (KTP) kedua nama tersebut memiliki NIK dan terdaftar sebagai pemilih dengan nomor TPS/DPT 074 dan 075 dikelurahan Gandaria, Jakarta Selatan untuk pemilu 2024.

“Awalnya klien kita (M) tidak pernah digugat sampai eksekusi.Tapi pada 2008, Sunarto (S) berdomisili di Jakarta Utara digugat oleh TEH dan TES. Padahal gugatan yang diajukan oleh TEH dan TES ditujukan kepada Sunarto bukanlah yang kuasai objek. Sementara yang menempati gedung yang berdiri diatas lahan sengketa tersebut adalah milik M. Sehingga pada gugatan tersebut TEH dan TES memenangkan gugatan. Namun TEH dan TES sama sekali tidak pernah hadir dipengadilan, hanya pengacaranya saja yang selalu mewakili kehadirannya dipersidangan. Kemudian Ketika eksekusi hendak dilakukan pada 2016, M yang sebagai pemilik berada dilokasi. Maka selanjutnya M mengajukan Perlawanan atas penolakan eksekusi karena M tidak berada dalam gugatan itu (bukan pihak tergugat). Perlawanan M terus dilakukan hingga 2021 yang akhirnya membuat M dikeluarkan dari bangunan namun semua barang miliknya berupa bangunan dan bahkan emas dan berlian serta seluruh perabotan yang ada didalamnya tidak dikembalikan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kemudian pada April 2023 datanglah M menemui kami. Kami menemukan kejanggalan, pada penyidik pertama TEH pernah diperiksa tapi pada penyidikan yang baru TEH tidak pernah diperiksa bahkan hilang dari Surat Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP). Saat dia hadir, dia tidak berbicara samasekali, diduga karena dia tidak bisa berbahasa Indonesia lantaran dia WNA (warga negara Belanda)”, jelas Iskandar.

Fiktifnya identitas atas nama TEH dan TES juga diperkuat oleh surat keterangan Kecamatan Cilandak tanggal 10 November 2023, tempat alamat yang tercatat dalam identitas keduanya. Dalam surat tersebut, Camat Kecamatan Cilandak menegaskan bahwa pihaknya tidak dapat menegaskan status kewarganegaraan TEH dan TES karena tidak memiliki data pendukung dan kewenangan. Pengecekan register pelayanan pelayanan surat keterangan waris kecamatan Cilandak atas nama keduanya juga tidak ditemukan.

Sosok keduanya juga tidak pernah dijumpai oleh warga yang tinggal disekitar lahan sengketa yang beralamat di jl. Pasar Baru No.45, Sawah Besar, Jakarta Pusat. Setiap kali pengurus RT datang ke alamat tersebut hanya ditemui asistennya. Baik TEH maupun TES dikabarkan sudah lama menetap di Belanda mengikuti kepindahan orangtuanya sejak tahun 1963.

Untuk mempertegas status kewarganegaraan TEH dan TES, tim kuasa hukum juga mengirimkan surat ke sejumlah instansi terkait, seperti Kemendagri, Kemenkumham, Mabes TNI, Mabes Polri, BIN dan Kedubes Belanda di Jakarta pada tanggal 22 November 2023.
“Kami juga telah mengirim surat pengaduan ke instansi-instansi dan semua surat pengaduan telah di terima”, ungkap Iskandar.

Tanah seluas 444 meter persegi itu sendiri berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) dan telah habis masa penggunaannya pada tahun 1980, tak lama setelah dikeluarkannya Keppres dan Permen larangan kepemilikan lahan oleh WNA. Hingga kini perpanjangan HGB tidak dilakukan, sementara gedung yang berdiri diatas lahan tersebut adalah milik M dan telah ditempatinya sejak 1932 turun temurun. Ironisnya Gedung beserta aset milik M yang berada didalamnya ikut tersita pada saat eksekusi dimana Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tahun 2021tidak pernah dilibatkan. Untuk memperjuangkan hak miliknya, M yang selalu membayar PBB lahan tersebut sejak awal sudah berusaha melaporkan kejadian itu ke Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Pusat, namun sampai kini pihak pengadilan belum juga mengembalikan asetnya yang ikut tersita.

“Menurut BPN semestinya tidak boleh menyita aset tanah negara, sebab dalam pasal 34 ayat 1 butir a peraturan Menteri Agraria Tata Ruang (Permen Nomor 13 Tahun 2017) tentang Tatacara Blokir dan Sita, disebutkan bahwa sita tidak dapat dilaksanakan terhadap hak atas tanah yang merupakan barang milik negara/daerah, tapi ini kenapa ini dapat dilakukan sita tanya BPN? Kepolisian perlu mendalami laporan kami”, harap Iskandar.