Sabtu, 08 Januari 2022 - 04:32:39 WIB

SETARA : Langkah Sumir Pembenahan Tata Kelola izin Pertambangan, Kehutanan dan Perkebunan

Penulis : Redaksi
Kategori: PROFILE / OPINI - Dibaca: 10946 kali


Presiden Jokowi mengumumkan pemerintah mencabut 2.078 Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batu bara pada hari ini, Kamis (06/01/2022). Kemudian, pemerintah juga mencabut sebanyak 192 izin sektor kehutanan seluas 3.126.439 hektare. Selain itu, sebanyak 34,448 hektare Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang ditelantarkan juga dicabut. Dari luasan tersebut, sebanyak 25.128 hektar adalah milik 12 badan hukum, sisanya 9.320 hektare merupakan bagian dari HGU yang terlantar milik 24 badan hukum. Jokowi mengatakan alasan dibalik pencabutan izin-izin ini dikarenakan tidak aktif, tidak membuat rencana kerja, dan ditelantarkan.

Atas dasar ini, Setara Institute menyampaikan beberapa poin telaah yang patut untuk diperhatikan.

Pertama, keputusan yang disampaikan Presiden Jokowi patut untuk di apresiasi. Masalah tata Kelola izin sektor pertambangan, kehutanan dan perkebunan memang menjadi persoalan kompleks. Pada penyampaian memang Jokowi sekilas menyinggung soal masalah lingkungan, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan Pasal 33 UUD 1945. Namun, setelahnya arah keputusan sangat berorientasi pada pembukaan peluang sebesar-besarnya bagi investor.

Sehingga, upaya untuk mengembalikan dan mengakomodir hak atas tanah untuk masyarakat masih belum terlihat jelas. Sedikitpun tidak ada penyampaian terkait dengan arah reforma agraria, pengelolaan hutan untuk rakyat ataupun masyarakat adat, yang seringkali menjadi korban dari adanya pemberian izin kepada perusahaan. Pada kesempatan ini, pemerintah hanya menggunakan terminologi kemitraan antara kelompok masyarakat dengan perusahaan yang kredibel dan berpengalaman.

Kedua, keputusan yang diambil Pemerintah, dapat dipahami merupakan rentetan dari peristiwa yang terjadi seminggu kebelakang. Pemerintah sebelumnya, telah menerapkan kebijakan larangan ekspor batu bara selama satu bulan (hingga 31 Januari 2022), dan Menteri BUMN juga mengeluarkan keputusan untuk mengganti Direktur Energi Primer PLN, yang dua hal ini dilatar belakangi oleh terbatasnya suplai batu baru (Domestic Market Obligation) kepada PLN. Pemerintah meminta agar menggenjot pemenuhan batu bara di dalam negeri dan melarang ekspor.

Sekali lagi, orientasi industri yang tidak ramah lingkungan dengan menekankan pada suplai komoditi batubara, menunjukkan belum jelasnya arah pengembangan energi baru terbarukan (EBT) serta ramah lingkungan, sebagaimana amanat dari pelaksanaan COP26 dan komitmen pemerintah. Hal ini justru hadir ditengah upaya beberapa negara yang sudah berlomba mengejar target NDC (Nationally Determined Contribution) dan target Net Zero Emission dengan transisi energi dari industri batu bara dan fosil (coal and fossil fuel industry) menuju energi baru terbarukan yang ramah lingkungan.

Ketiga, data tentang jumlah HGU dan IUP yang dicabut tidak dibarengi dengan transparansi terhadap nama-nama perusahaan pemegang izin. Walaupun tidak memungkinkan disampaikan pada pengumuman presiden tersebut, namun setidaknya keputusan Presiden mesti dibarengi dengan dokumen data tentang nama-nama perusahaan yang dimaksud dan dapat diakses secara terbuka oleh publik.

Isu mengenai transparansi data, terutama HGU dan konsesi, sudah lama digaungkan oleh kelompok masyarakat sipil agar pemerintah berani membuka data, terutama bagi yang memiliki izin ratusan ribu hektar. Jika ini tidak dilakukan, artinya, keputusan pemerintah saat ini sangat kontekstual dan sumir. Belum ada visi kebijakan yang kongkret untuk membenahi tata kelola pertambangan, kehutanan, dan perkebunan yang dikuasai oleh sebagian besar korporasi, sementara akses atas lahan untuk masyarakat semakin menunjukkan ketimpangan yang besar. Ditambah lagi dengan massifnya agenda pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan IKN (Ibu Kota Negara).